Semenjak jadi mahasiswa, nongkrong bersama teman SMK di Kedai Kopi Menak jadi salah satu agenda wajibku. Bisa seminggu sekali, dua minggu sekali, bahkan tiga minggu sekali tetapi tidak pernah sebulan sekali. Bacotan cees SMK emang bikin candu.
Waktu itu, aku memesan bandrek susu, minuman favoritku selain es teh susu. Aku duduk di kursi yang menghadap ke jalan raya. Sesekali aku memerhatikan angkot yang hilir mudik. Tiba-tiba pandanganku terpaku pada seorang laki-laki yang tepat berada dii trotoar jalan tidak jauh dari tempat dudukku. Dia melihatku sembari tersenyum. Kaget, salting, bingung, dan takut aku rasakan bersamaan sebab setelah beberapa kali aku mengucek mata, laki-laki itu menghilang. Refleks aku melihat sekeliling, mencari di mana dia. Kaget karena kupikir “anjir itu cowo ko ganteng ya”; salting karena saat aku melihatnya, dia juga melihatku; bingung karena di depanku ada parit dan pohon jambu yang kalau dilihat dari posisi dia berdiri tampak aneh "Kok, kakinya dari paha ke bawah tuh kek ada di dalem parit, Masa iya dia jatoh ke parit? Posisi aku sama parit samping trotoar itu cuman satu meter. Masa iya ga ngeuh ada orang jatoh ke situ. Kalo pun jatoh pasti udah jadi pusat perhatian, toh di Kedai lagi rame banget", pikirku; dan takut karena kayanya aku yakin kalo dia…. Yasudahlah. Saat itu mungkin aku sedang berhalusinasi.
Malam itu aku menginap di rumah sahabatku, si Septi. Sesampainya di rumah Septi, perutku serasa mual, mungkin karena angin malam dan jaketku kurang tebal sehingga aku masuk angin. Namun, ada yang aneh dari gelagat Septi. Dia buru-buru masuk ke rumah dan mengunci pintu, kemudian segera ia menyipratkan air ke lantai luar rumah.
“Ngapain?”, tanyaku.
Dia jawab “Bersihin dosa” sambil melengos.
Udah gak aneh kalo jawabannya ngeselin. Anaknya emang begitu.
Karena penasaran, aku tanya lagi “yang dicipratin tadi air apaan?”
Dia jawab “air garem”
“Biar apa?”, tanyaku
Dia jawab lagi “biar berasa”.
Hmm, emang agak kamvret. Tapi percuma kalo lanjutin obrolan. Malah bakalan jadi makin kesel sama jawabannya. Sejujurnya aku masih ketakukan karna liat-liatan ama cowo itu. Malam itu aku tidur bareng si Septi di kamarnya. Dia di kasur atas, aku di kasur bawah. Akhirnya aku putusin buat cerita kehaluan di Menak tadi. Ternyata dia juga ngeliat ada orang berdiri di gerbang rumah. Makanya nyipratin air karna takut ada hal-hal yang malah berimbas gak bagus.
“Jadi lu liat Sept?”, tanyaku.
“Hooh. Ko badannya setengah?”
“Ga ngerti. Puser ke bawah ga jelas, ada di dalem gorong-gorong.” Jawabku
“Dahlah, ga bakal bener. Syare (tidur) aja yuk!”, ajak Septi.
Malam itu aku gelisah, tak ingin tidur sama sekali. Scroll medsos sampai bawah, mulai dari nonton feed di Instagram sampai pindah ke YouTube, masih belum bisa tidur. Tak lama mataku serasa berat, badanku lemas sedikit gemetar dan tiba-tiba gelap.
Terlihat samar-samar wajah seorang laki-laki. Usianya berkisar 17 tahunan. Wajahnya bersih, rambut rapi, dada bidang dan badan proporsional.
“Ganteng...” ucapku dalam hati.
Posisiku ada tepat di sampingnya. Dia mengenakan kaos hitam agak ketat dengan kerah v dan bawahannya mengenakan celana jeans blue wash.
Dan lagi aku bergumam dalam hari “ganteng anjay…”
Aku hanya bisa melihat wajahnya dari satu sisi. Kami duduk berdampingan di atas troroar sambil melihat jalan raya. Di belakangku ada bank, di depanku ada kantor PLN, samping kananku masih jalan trotoar panjang, dan samping kiri ada dia sedang duduk di ujung trotoar dekat belokan ke sebuah pemukiman.
Dia memegang coklat batang di tangannya, coklat silverqueen. Wajahnya tampak sedih dan tatapannya kosong melihat jalan. Dia menekuk lututnya, lalu memeluk lututnya dengan erat sembari menundukan kepalanya.
Ingin rasanya aku mengusap punggungnya. Sebagai pertanda kalau aku iba dan merasakan kesedihannya. Jangan tanya aku sedih kenapa, karena pada saat itu, seakan-akan aku merasakan sedih yang mendalam, kekecewaan, dan ada penyesalasan yang berat.
Aku memberanikan diri untuk bertanya:
“Naha masih di dieu?” (Kenapa masih di sini?)
Dia hanya menengok, menatapku.
Seketika aku langsung menunduk. Aku takut melihat wajah bagian kirinya yang berdarah-darah
Lalu aku tanya lagi sambil menunduk “Naha teu balik?” (Kenapa tidak pulang?)
Dia menjawab, “Ari urang kudu balik kamana?” (Lalu aku harus pulang kemana?)
Berat untuk mengucap, aku hanya bisa menelan ludah. Lalu aku melihat jalan di depanku sudah banyak genangan darah. Aku melihat ada seorang laki-laki tergeletak dengan kepala berlumuran darah. Di depannya ada sebuah angkot yang berhenti mendadak. Kuperhatikan kembali jasad di atas jalan itu, bajunya sama persis dengan laki-laki di sampingku.
Aku masih bertanya-tanya, kenapa dia masih di sini. Apa karena darah itu tidak dibersihkan? Apa ada tujuan dia yang belum diselesaikan? Sayup-sayup aku mendengar jerit tangis seorang perempuan. Kemudian perlahan pengelihatanku memudar, blur; gak jelas dan rasanya berat membuka mata…
Neko-2022
Ada apa sama coklat silverqueen?
Komentar
Posting Komentar